eBook 13-1 Peranan dalam Pembebasan Irian Barat

Bab 13 - Peranan dalam Pembebasan Irian Barat

* Menggunakan potensi mahasiswa
* Brosur dan pamflet diselundupkan
* Potret Karel Doorman dan peta Irian
* Sukses Misi Nasution dan Misi Yani

Ketika konflik Irian Barat memanas karena Belanda berkeras kepala tidak mau memenuhi persetujuan Konferensi Meja Bundar, perlulah d.iadakan usaha gunamempengaruhi mahasiswa-mahasiswa Irian Barat yang tengah belajar di Belanda. Usaha dilakukan oleh PPI dari Jerman Barat. Melalui koordinasi Midian Sirait, tugas diberikan kepada Frans Mariakasih, Basuki Gunawan dan lain-lain.

Suami saya meminta agar mahasiswa-mahasiswa Irian Barat itu diundang ke Jerman Barat. Namun undangan ituharus dilakukansecara rahasia. Kepergian mereka ke Jerman Barat harus melalui Perancis dan Swis, sebabjika langsung ke Jerman Barat akan mudah tercium o1eh pihak Belanda. Kedatangan mereka pun secara bergelombang, dan selama berada di Jerman Barat diberi pakaian sebagai kenangan.

Di antara para mahasiswa Irian Barat itu terdapat dua orang yang sangat berpengaruh, yaitu Frits Kirihio dan Rumainum. Keduanya mengadakan konferensi pers dan wawancara dalam siaran televisi, dan secara tegas mengatakan bahwa Irian Barat adalah wilayah Republik Indonesia.

Kedua orang mahasiswa itu selanjutnya dikirim dari Jerman Barat ke Indonesia untuk menemui Presiden Sukamo, dan selanjutnya pergi ke Irian Barat melaiui negara ketiga. Daiam hubungan ini Atase Militer dan PPI berkiprah dalam sejarah perjuangan pembebasan Irian Barat.

Kelihatannya waktu itusuamisaya sering telepon-teleponan dengan Pak S. Parman, Atmil yang ada di London waktu itu, dengan Pak Kartakusuma, Atmil di Paris, dengan Pak Zikir, Atmil di Cairo, dan beberapa rekannya lagi. Selain membicarakan dinasnya, tentunya, mereka pun saling menyampaikan salam untuk seisi rumah dan ajakan untuk datang. Hal yang lazim di antara sesama Atmil. Pendekatan kepada tokoh politik Belanda pun dilakukan oleh suami saya dan berhasil baik, antara lain pendekatan terhadap Prof. Duijnstee, guru besar pada Universitas Katolik di Nijmegen dan anggota Parlemen Belanda dari fraksi Partai Katolik. Hubungan dirintis melalui Frans Mariakasih yang juga menjadi asisten pada Universitas Katolik.

Prof. Duijnstee sering berkunjungdan bertukar pikiran dengan suami saya di rumah kami, di Bonn. Dan saya ingat, satu kali pemah juga Frans Seda yang waktu itu masih tinggal di Nijmegen, datang bersama Prof. Duijnstee ke rumah kami. Mereka membicarakan soai Irian Barat. Dasar pendekatan yang dilakukan oleh suami saya ialah bahwa pemerintah dan rakyat Belanda tidak perlu berperang dengan Indonesia dalam persoalan Irian Barat, karena itu lebih baik menggiatkan pembangunan dan ekonomi. Dasar pemikiran dapat diterima, sehingga merebak kepada tokoh-tokoh politik dan masyarakat Belanda lainnya.

Dengan terbentuknya Baperpib dan Barisan Sukarelawan, terlebih lagi setelah Trikora dikomandokan pada tanggal 19 Desember 1961, semangat pembebasan Irian Barat semakin menyala. Dalam bulan Maret 1962 PPl mengadakan kongres dan seminar di Jerman. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka pembebasan Irian Barat dan realisasi Trikora.

Dalam kongres tersebut diundang Prof. Duijnstee sebagai anggota Parlemen Belanda dari Partai Katolik, partai Perdana Menteri Belanda. Hadir pula Herman Waijoi, mahasiswa Irian Baratdi Belanda. Ia adalah Ketua Partai Nasional Irian Barat (PARNA). Resolusi kongres dan seminar: Irian Barat harus kembali ke pangkuan Republik Indonesia melalui jalan apa pun sebelum tanggal Januari 1963.

Prof. Duijnstee berpendapat bahwa sepatutnya Irian Barat diken'lbalikan kepada Indonesia tanpa melalui kekerasan. Ia menulis buku West Nieuw Guinea Schakcl tussen Indonesia en Nederland (Hubungan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda). Pengaruh buku ini sangat luas di kalangan politik dan masyarakat Belanda sehingga dapat mengubah situasi politik Belanda mengenai Irian Barat.

Dapat dicatat, bahwa seorang laksamana Belanda, Admiraal Reeser, mengatakan kepada pemerintahnya bahwa dirinya dapat memimpin pasukan untuk memukul dulu pasukan Indonesia, tetapi Kabinet Belanda menolak saran itu.

Suatu haris aya melihat suami saya tekun menulis di kamar kerjanya. Apa yang ditulisnya? Akhimya saya tahu bahwa tulisannya itu akan dicetak menjadi brosur dan pamflet, yang kemudian akan disebarkan ke negeri Belanda. Apa isinya? Brosur dan pamflet itu mengemukakan hasrat penduduk asli Irian Barat (sebutan waktu itu) untuk kembali kepada lbu Pertiwi, artinya bergabung kembali dengan Republik Indonesia, dan lepas dari penjajahan asing.

Siapa yangakan menyebar pamflet dan brosur itu nanti? Felix Mettemich, warga negara Jerman yang menjadi pegawai pada bagian Atase i'v1iliter Kedutaan Besar Rl, setelah mendapatkan pendekatandan penjelasan darisuamisaya, bersedia secara sukarela menyebarkan brosur dan pamflet itu pada golongan-golongan tertentu di negeri Belanda yang pro-RI. Mettemich memang sengaja dipilih oleh suami saya, karena setiap warga negara Indonesia, kecuali yang tinggal di negeri Belanda, tidak dapat memasuki wilayah negara yang sedang bersengketa mengenai masalah Irian Barat. Paspor Rl tidak berlaku untuk wilayah Belanda. Maka masuklah Mettemich ke wilayah Belanda, lalu membagi-bagikan brosur dan pamflet itu.

Mettemich juga beberapa kali menjalankan tugas rahasia, yang salah-salah bisa membahayakan dirinya. Yang paling berbahaya ialah 133 bahwa ia pernah ditugaskan ke negeri Belanda untuk memotret kapalkapal perang Belanda, terutama kapal induk Karel Doorman. Konon kapal induk kebanggaan Belanda itu akan berlayar ke perairan Irian Barat untuk mem_Rerkuat pertahanan di sana. Dengan menggunakan kamera mini Mettemich berhasil memotret Karel Doorman dan kapalkapal perang lain. Foto-foto tersebut oleh suami saya dikirimkan ke StafUmum Angkatan Darat (SUAD) 1di Jakarta.




Kapal Induk Belanda, Karel Doorman (1961)

Pegawai Atmil berkebangsaan Jerman itu sering bertugas mengeposkan surat-surat rahasia pemerintah RI kepada tokoh-tokoh politik danekonomi Belanda. Surat-suratitu diposkan di wilayah Belgia, untuk menghindari kemungkinan pembongkaran rahasia oleh dinas intelijen Belanda.

Dalam rangka petjuangan pembebasan Irian Baratwaktu itu, suami saya, kata Metternich, sering mengatur pertemuan rahasia antara wakilwakil pemerintah kita dengan tokoh-tokoh politik tertentu Belanda, yang berlangsung di suatu tempat dalam wilayah Jerman.  Sudah barang tentu bantuan Metternich kepada suami saya pantas dihargai. Gagasan dan ide tertentu Atmil dapat dilaksanakan olehnya.
Metternich bekerja sebagai staf Atmil Bonn sejak masa jabatan Kolonel Askari, kemudian di bawah suami saya, dan masih terus beketja di bawah Kolonel Wadly, Kolonel Sunggoro, Kolonel Sumantoro, dan Kolonel Abdullah. Tidak kurang dari 17 tahun lamanya ia menjadi staf Atmil di Bonn hingga tahun 1972.

Baru-baru ini ia melalui T. Njoo, anggota Staf lokal Atase Pertahanan (Athan) di Bonn, dan Ramadhan K.H., menyerahkan kepada saya foto-foto suamisaya ketika bertugas di Bonn. Adapun T. Njoo, ketika kami tinggal di Bonn dulu, adalah mahasiswa Indonesia anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang sering menghadiri pertemuan antara suami saya dengan PPI. Sebagai tenaga sukarela T. Njoo membantu pula dalam hal transportasi dan akomodasi bagi para peserta pertemuan yang datang dari berbagai negara Eropa tempat mereka belajar. Ia mulai bekerja sebagai staf local Atmil sejak masa dinas Kolonel Wadly tahun 1962 hingga sekarang.

Ketika Jenderal Nasution berkunjung ke Jerman Barat, suami saya mengundang pers seluruh Eropa, termasuk pers Belanda, agar mengikuti konferensi pers di Bonn. Gedung tempat konferensi pers itu adalah sebuah gedung milik pemerintah Jerman Barat. Berbagai pertanyaan diajukan oleh pers Barat mengenai masalah pembebasan Irian Barat, dan Jenderal Nasution menjawabnya secara jelas. Sehubungan dengan sukses konferensi pers itu, Jenderal Nasution menyatakan bahwa pendekatan yang dilakukan Atase Militer Indonesia Kolonel Pandja.itan kepada pers dan berbagai kalangan di Jerman Barat khususnya dan Eropa umumnya sangat baik. "Tidak mudah menemukan hasil sepertiitu, walaupun dariseorangdiplomat," katanya memuji.

Suami saya juga berhasil mempertemukan para pendeta dan pemimpin-pemimpin Gereja dari Belanda dengan Jenderal Nasution di Bonn. Pak Nas secara tegas dan jelas berbicara tentang perjuangan Bangsa Indonesia untuk mengembalikan Irian Barat sebagai haknya. Khusus mengenai keberhasilan Atmil mengundang para pendeta dan pemimpin-pemimpin Gereja dari Belanda itu sangat dipuji oleh Jenderal Nasution.

Sebelumnya pernah juga suami saya meminta jasa baik Pendeta de Kleine agar mengundang tokoh-tokoh Kristen dari Belanda, untuk diberi penjelasan dari sudut agama mengenai perjuangan bangsa lnionesia menuntut kembalinya Irian Barat, serta akibatnya jika terjadi konflik bersenjata. Pendeta berhasil mengundang tokoh-tokoh tersebut, termasuk Ketua Christelijke Historische Unie (CHU) . Pertemuan i tu berlangsung di sebuah kompleks rumah sakit di Keiserwerth, kira-kira 7 Km dari Dusseldorf.

Atmil Indonesia disertai oleh Diapari Gultom, sahabat suami saya waktu di MULO dulu, yang waktu di Jerman telah menjadi Geschaeftsfuerer dari lndonesische Hadleskammer fuer Europa, atau Direktur Majelis Perdagangan Perindustrian Indonesia di Eropa (MAPPIE) di Duesseldorf, Edward Simandjuntak dan SAE. Nababan.

Dalam ceramahnya Atmil menegaskan, kalau Irian Barat tidak diserahkan kembali oleh Belanda kepada Indonesia, maka komunis akan lebih berkuasa di Indonesia.

Atas penegasan itu, mereka dapat memahami dan menyadari, bahwa dari sudut kepercayaan, komunis perlu dibendung. Selain itu, Irian Barat seharusnya dikembalikan kepada Indonesia secara damai. Selagi hebat-hebatnya perjuangan pembebasan Irian Barat, mahasisiwa E. Simandjuntak pemah mendapat tugas dari suami saya agar menemui pimpinan kelompok konservatif Belanda, yaitu Bruinslot Karena paspor RI yang biasa tidak berlaku untuk semua negara, termasuk Belanda,Simandjuntak diberinya paspor khusus yangberlaku untuk semua negara, termasuk Belanda. Sebagai mahasiswa ia lebih mudah menyelundup ke wilayah Belanda karena tidak akan tampak mencolok dan mencurigakan.

Dalam pertemuanya dengan pimpinan konservatif yang selal~ menentang pengembalian Irian Barat kepada Indonesia itu Simandjuntak menyampaikan pesan suami saya.

Bersama S. A. E. Nababan (yang kemudian pernah menjadi pemimpin HKBP, E. Simandjuntak ditugaskan pula menemui lagi Bruisnlot, dan berhasil mengajak pemuka politik Belanda itu ke Koeln untuk bertemu dengan Bung Hatta.

E. Sirnandjuntak merasa bahwa penugasan yang diberikan oleh Atmil Kolonel D.I. Pandjaitan bukan saja suatu kepercayaan, tetapi juga mengarahkan kehidupan pemuda agar ikut melibatkan diri dalam perjuangan bangsa bagi keutuhan tanah air. Penugasan tersebut benar benar merupakan pendidikan yang sangat berarti.

E. Simandjuntak yang kini bertugas sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia di Hamburg, belum lama dalam percakapan dengan Salomo, anak saya, mengatakan bahwa dirinya bersama Midian Sirait (mantan Dirjen POM Depkes) begitu berkenalan dengan suami saya, langsung menjadi akrab, karena "Wakil Atase Militer (kemudian Atase Militer) itu bersikap sederhana, bersifat rnendidik secara tidak langsung yang diselipkan dalam obrolan, dan sering menanamkan sifat kepemimpinan yang mudah saya serap."

"Barangkali tidak ada seorang perwira tinggi TNI yang berkunjung ke Bonn yang tidak dibawa oleh Atase Militer kerumah saya, termasuk Jenderal Nasution," kata E. Simandjuntak bercerita belakangan ini. "Padahal kami hanyalah mahasiswa, sedangkan tamu-tamu yang dibawa ke rumah adalah perwira -perwira tinggi. ltulah salah satu cara Almarhum untuk mendorong kaum muda supaya ikut ambil bagian dalam perjuangan bangsa, karena pemuda dan mahasiswa dianggapnya benar-benar sebagai harapan bangsa."

"Keakraban Almarhum kepada siapa saja merupakan salah satu sifatnya yang utama," kata E. Simandjuntak selanjutnya. "Ketika kami sekeluarga pulang dari Eropa dengan naik kapal, kira-kira 3 kilometer dari Tanjung Periuk, di geladak kapal saya melihat ada kapal kecil dari kejauhan menuju kapal kami. Temyata Almarhum berada dalarn kapal kecil itu, sengaja menjemput karni. Beliau naik, dan selanjutnya menggedor kamar kami. Sungguh mengharukan dan menggernbirakan." Ketika E. Simandjuntak mencari pekerjaan di Jakarta, suami saya pun mengantamya bertemu dengan Dr. Ibnu Sutowo yang mengepalai Pertamina waktu itu, juga ke BRI yang waktu itu dipirnpin oleh seorang Brigadir Jenderal. "Mestinya cukup dengan kattebelletje, tidak usah diantar. Tetapi itulah sifat beliau yang suka rnembentu kawan," kata E. Simandjuntak.

"Ketika Almarhum dulu hendak berangkat ke Amerika karena mendapat tugas belajar," kenang E. Simandjuntak, "saya diundang ke rumah beliau, padahal di rumah beliau hadir pula Jenderal A. Yani dan perwira-perwira tinggi lainnya."

Nyonya Simandjuntak merasa tiba-tiba lemas dan shock ketika mendengar dari radio tentang peristiwa Gestapu. "Saat itu kami sekeluarga sedang berada di Zandvoort, Nederland, begitu mendengar kejadian itu saya merasakan suatu kehilangan yang tidak bisa ditemukan lagi. Dunia jadi kosong," kata Ny. Simandjuntak.

"Ketika Almarhum dulu membangun rumah," tutur E. Simandjuntak dalam kenangannya, "Almarhum sengaja menyediakan kamar-kamar untuk anak-anaknya. Kamar ini untuk Oce, kamar itu untuk Salomo, dan seterusnya. Maksudnya agar anak-anaknya kelak dapat belajar di tempat yang semestinya, sehingga di kemudian memperoleh ilmu yang berguna hila terjun ke kancah masyarakat. Barangkali itu firasat, bahwa beliau akan berpisah dari putera puterinya."

"Kasih-sayangnya kepada keluarga, keakrabannya kepada ternan, pembinaannya kepada pemuda dan mahasiswa sebagai harapan bangsa, dan perjuangannya semasa revolusi menenegakkan kemerdekaan bangsa dan negara, benar-benar merupakan contoh bagi kita semua, demikian E. Simandjuntak dalam percakapan dan kenangannya yang disampaikan kepada keluarga kami baru-baru ini.

Klik untuk bersambung

*