30 September 1965
* Musik Bethoven dan Mozart
* Asyik dengan buku-buku agama
* Gugur dalam pakaian seragam jenderal
* Anak meraup darah ayahnya
Pagi-pagi suami saya berangkat dari rumah - seperti biasa
pukul setengah tujuh - menuju kantornya, Markas Besar Angkatan Darat (MBAD),
Jalan Merdeka Utara 2. Dalam pakaian seragam dan tanda pangkat
BrigadirJenderal, dengan jabatan Asisten IV/Logistik Menteri Panglima Angkatan
Darat, ia tampak gagah dan berwibawa.
Sore hari itu pukul setengah tiga ia sudah tiba kembali di
rumah. Sesudah berganti baju kami makan bersama. Kami memulai makan siang itu
dengan doa dan mengakhirinya dengan doa pula.
Sambil membereskan sesuatu di meja makan, saya melihat ia memegang
buku, dan setelah membuka-buka halaman untuk mencari nomor halaman yang telah
dibacanya, ia tenggelam dalam keasikan membaca. Tak tahu buku apa yang sedang
dipegangnya itu, tapi pada hari-hari terakhir ia sedang menyukai buku agama, di
antaranya Church Dogmatics karangan Karl Barth. la sudah memiliki enam jilid
dari dua belas jilid selengkapnya. Selebihnya sedang dipesan; dan temyata buku buku
pesanannya itu datang setelah peristiwa yang menyedihkan itu terjadi.
Beberapa lama kemudian ia menutup bukunya, kemudian membawanya
serta naik tangga ke tingkat atas. Tetapi belum sampai di lantai atas, ia
kembali turun dan melihat pembantu yang sedang menyeterika di belakang. Entah
mengapa, ia lantas mengambil seterikaan dari tangan pembantu kami, lalu
menyeterika sendiri kaos kakinya. Barangkali sebelum ini tak pemah ia berbuat
demikian.
*
Petang itu Katherin minta izin hendak pergi ke lstana
Olahraga di Senayan. Disana akan dilaksanakan upacara pembukaan Musyawarah BesarTeknisi.
Presiden Sukamo akan berpidato pada kesempatan itu. Memang pada bulan-bulan
terakhir banyak partai dan organisasi mengadakan rapat raksasa dengan
mengerahkan massa, sedangkan Kepala Negara hampir selalu diminta untuk
berpidato. Kesempatan seperti i tu digunakan oleh partai dan organisasi massa
yang bersangkutan untuk mencari dan menggalang pengikut.
Katherin dan Masa memang diwajibkan oleh sekolahnya, Tarakanita,
supaya hadir di Senayan pukul enam sore. Sekolah-sekolah konon diwajibkan
memenuhi giliran meramaikan kesempatan semacam itu, dan Presiden Soekarno akan
senang kalau lstana Olahraga dipenuhi oleh massa. Dewasa itu ada pula
kementerian yang bemama Kementerian Pengerahan Tenaga Rakyat (Petera) yang
tugasnya mengerahkan rakyat untuk mendukung kebijaksanaan pemerintah termasuk mengerahkan
massa agar menghadiri rapat raksasa.
Ketika Katherin dan Masa minta diri, mula-mula ayahnya
melarang. Masing-masing mengajukan alasan. Kedua anak itu mengatakan bahwa
peraturan dari sekolah sulit dihindari, karena mungkin sekali ada akibatnya,
dan sekolahnya pun akan mendapat teguran dari pemerintah karena dianggap kurang
mendukung kebijaksanaan pemerintah. Akhimya ayahnya mengizinkan pergi.
Suami saya mandi, kemudian berkumpul dengan anak-anak yang ada
di rumah. Sampai saat makan malam kami berkumpul, tanpa Katherin dan Masa yang
ada di Senayan. Seusai makan anak-anak pergi ke kamar masing-masing hendak
belajar. Suami saya menuju kamar keluarga, duduk mengikuti siaran TVRI yang
menayangkan jalannya rapat raksasa Musyawarah Besar Teknisi di Senayan.
Karena siang itu saya mengikuti pertemuan arisan keluarga
para perwira di Cijantung, badan terasa lelah, sehingga saya pun minta din
untuk masuk kamar tidur. Suami saya maklum. Ia sendiri masih akan mengikuti
siaran TVRI karena ingin mendengarkan pidato Presiden.
Di dalam kamar tidur, tingkat atas, cepat sekali saya
tertidur. Entah pukul berapa, saya terbangun sekejap karena mendengar
langkahlangkah suami saya masuk kamar tidur. Saya sempat membuka mata sekilas,
kemudian tertidur lagi.
*
1 Oktober 1965, pagi dini hari.
Tiba-tiba saya terbangun lantaran bunyi yang keras. Lantas sadar bahwa bunyi tembakan senjatalah yang membangunkan saya. Begitu juga suami saya. Dalam hati kami bertanya-tanya. Bunyi langkah orang dengan sepatu berat menambah kecurigaan saya.
Dari keterangan yang saya peroleh dua-tiga hari kemudian,
orang orang yang datang bergegas tanpa diundang ke rumah kami pukul 4.15
menjelang subuh itu datang dari Lubang Buaya. Penunjuk rumah kami di Jalan
Hasanudin 53, Kebayoran Baru, adalah Kopral Dikin, anggota Resimen Cakrabirawa.
Mereka berjumlah kira-kira limapuluh orang, dipimpin oleh Sersan Sukarjo dari
Batalyon 454 Divisi Diponegoro.
Gerombolan itu masuk kehalaman rumah dengan melompati pagar karena
pintu pagar terkunci. Langsung mereka menuju pintu rumah, dan karena pintu itu
pun terkunci, mereka pun merusak pintu dan kuncinya dengan tembakan beberapa
kali. Suara letusan peluru-peluru itulah yang membangunkan tidur kami. Gemetar
tubuh saya. Sempat saya bertanya kepada
suami saya, apakah hari itu ada latihan perang dengan tembakan senapan segala.
Tidak ada, jawabnya.
Mereka mengepung pula rumah. Dari arah pavilyun mereka
melepaskan berondongan peluru. Letusan peluru-peluru itu terdengar begitu dekat
di telinga saya. Di dalam pavilyun ada Albert Naiborhu dan Victor Naiborhu,
keduanya famili kami dan Leleng Pandjaitan. Ketiganya tidur di situ.
Gerombolan yang berhasil mendobrak pintu itu masuk ke dalam pavilyun.
Albert dan Victor diancam dengan todongan senjata. Menurut keterangan di
kemudian hari, Albert sempat meraih pistol yang terletak di dekat tempat tidur.
Tapi dua orang di antara gerombolan yang beringas itu, Asmara dan Herwanto,
lebih dahulu menembak. Albert rubuh dan berlumuran darah. Victor cepat merebut pistol
dari kemenakannya, tapi gerombolan yang ganas itu melumpuhkannya dengan
rentetan tembakan. Victor rubuh karena limpa dan pinggangnya diterjang peluru.
Adapun Leleng cepat bertiarap di bawah tempat tidur sehingga tidak tersambar
peluru.
Erni, pembantu rumah tangga, keluar setelah mendengar suara tembakan.
la dihadang oleh gerombolan yang mengancamnya akan menembak. “Di mana ndoromu?
Di mana ndoromu?" tanya mereka dengan kasar. Erni terpaksa menjawab bahwa
kami ada di lantai atas. Ia dipaksa agar naik ke lantai atas untuk meminta kami
turun. Tetapi ia tidak sampai muncul di kamar kami.
Sementara itu gerombolan yang sudah berada di ruangan tamu segera
menembak-nembak ke arah tangga yang menuju ke lantai atas. Terdengar pelbagai
peralatan rumah tangga pecah berantakan. Terdengar teriakan yang amat keras:
“Cepat turun Jenderal”.
Rupanya ia sadar akan situasi yang terjadi. Ia segera
mengambil pistol mitralyur dari lemari dan mengokangnya. Saya memberanikan diri
mengintip dari jendela kamar ke bawah. Tampak banyak orang berpakaian tentara
berteriak-teriak. Kekha watiran saya memuncak, jangan-jangan seisi rumah kami
dibunuh dan rumah dihancurkan.
Anak-anak juga terbangun karena suara yang ribut dan
rentetan tembakan. Mereka bergegas menemui kami di ruangan keluarga, tingkat
atas. Adapun Katherin yang sudah ada di rumah berani mengintip keluar dari
jendela. Terdengar teriakan-teriakan lebih keras. Katherin keluar ke balkan. Tampak
olehnya di bawah banyak orang berpakaian seragam hijau dan bersenjata.
Katherin tidak bingung dan ketakutan. la menuju pesawat telepon,
menghubungi Kolonel Yunus Samosir, Wakil Asisten I Menteri/ Panglima Angkatan
Darat. Jawaban yang diterima mengatakan, penerima telepon itu Tante Samosir.
Dari percakapan
melalui telepon itu saya mendengar Katherin memberitahukan keadaan di rumah kami.
Selanjutnya ia juga menghubungi temannya, anak anggota ABRl. Tetapi hubungan
telepon itu terputus; tentu karena kabel telepon telah dipotong oleh
gerombolan. Telepon di lantai atas memang paralel dengan telepon di
lantaibawah.
Saya dan adik-adik Katherin sudah bertiarap di ruangan
keluarga lantai atas. Saya lihat Katherin bertanya, entah apa, kepada ayahnya. Jawaban
dari ayahnya pun saya tidak mendengar secara jelas. Selanjutnya saya lihat
Katherin melangkah lagi ke teras, dan dari sana melihat ke bawah. Banyak
tentara di bawah berteriak-teriak menyuruh ayahnya turun sambil melepaskan
tembakan dan menendang barang barang termasuk pesawat televisi. Sesaat kemudian
sebuah tembakan mengenai lampu kamar kami, maka padamlah seketika lampu itu.
Saya memberanikan diri menjenguk ke bawah, bertanya siapakah
mereka yang mengepung rumah kami, dan apa maksud kedatangan mereka. Mereja
jawab: “Cakrabirawa dari istana, diperintahkan Presiden panggil Jenderal Pandjaitan!
”
Saat itu juga saya sadar bahwa keadaan sudah gawat, amat
gawat. Maka saya raih senjata dari tangan suami saya. Temyata senjata itu macet.
Selanjutnya saya menyarankan agar suami saya turun saja dulu, menuruti kemauan
gerombolan itu demi keselamatan anak-anak. Katherin berusaha membuka pintu dan
menuju tangga. Penglihatannya terhalang oleh beruang pajangan di depan tangga.
Ia lantas bertanya: "Siapa kalian? Cari apa?!"
Jawaban dari bawah: "Cakra, mencari Bapak. Paduka Yang
Mulia Presiden memanggil Jenderal Pandjaitan."
Dalam pada itu Katherin mendengar teriakan Albert:
"Tulang, Tulang! Jangan turun. Jangan menyerah!"
Suara Albert itu ditimpa oleh teriakan gerombolan:
"Cepat, turun!"
Katherin masuk kembali ke dalam kamar menemui ayahnya yang sedangn
mengenakan pakaian seragam dinas. Saya pasangkan tanda pangkatnya dan
atribut-atributnya. Rapih sudah ia dalam pakaian seragam kebesarannya.
Dari bawah gerombolan terus mengancam sambil berteriakteriak
agar suami saya Iekas turun. Kalau tidak, teriak mereka, kami semua akan
dimusnahkan. Ancaman itu disertai tembakan tembakan.
Setengah berteriak saya menengahi: “Sebentar, sebentar.
Sedang pakai sepatu, sedang pakai kaos kaki!" Tetapi teriakan ancaman dari
bawah terus juga mendesak.
Suami saya mengambil topi, lalu dikepitnya dengan lengan
kiri.
Katherin sempat mengingatkan agar sepatu dan kaos kaki itu
dipakai dulu; ayahnya pun memenuhi permintaan itu. Setelah rapi berpakaian, seperti
sering dilakukan, suami saya berdoa.
Teriakan dari bawah mendesak lagi disertai tembakan pula.
"Lagi berdoa!" kata saya keras-keras.
Dari bawah mereka Iagi-lagi mengancam: “Tak usah ganti
pakaian. Tak usah berdoa!"
Setelah selesai berdoa suami saya turun ke tangga. Tampak ia
memperhatikan keadaan sekeliling sebentar di ruang tamu. Katherin menyusul.
Pada belokan tangga berbentuk L suami saya menoleh.
Melihat Katherin menyusul ia menyuruhnya agar masuk kembali
ke dalam kamar.
Atas perintah itu Katherin masuk kembali, mengunci pintu kamar,
dan lari ke teras yang letaknya tepat di atas garasi. Ia memandang ke bawah.
Dari sana dilihatnya ayahnya berhadapan dengan seorang anggota gerombolan yang
pangkatnya, jelas dikenalnya, kopral.
Dilihat dan didengarnya kopral itu memerintahkan bersiap.
Namun ayahnya tidak bersiap, tidak memenuhi perintah itu, melainkan berdoa lagi.
Dari atas Katherin menyaksikannya.
Katherin terhenyak melihat anggota gerombolan itu memukul kepala
ayahnya yang sedang berdoa, yang langsung jatuh. Dan tembakan memberondong
ayahnya.
Kejadian yang disaksikan itu membuat Katherin tanpa pikir panjang berteriak dan lari menuju tangga, diikuti Salomo, adiknya, turun ke tempat kejadian di depan garasi. Ternyata ayahnya sudah tidak ada di situ. Yang tinggal hanya darah dan cairan otak serta sebagian rambut kepala ayahnya bergelimang di lantai halaman depan garasi.
Dalam beberapa saat saja seluruh gerombolan sudah kabur. Tanpa
sadar Katherin meraup darah ayahnya, lalu menyimbahkan darah itu pada dada
sehingga basah dan berwarna merah. Ia menangis, meraung. la sangat menyesal
karena tidak dapat membela ayahnya. Karena sedih dan geram, darah ayahnya
disimbahkan pada mukanya sendiri.
Dari keterangan yang saya dapatkan kemudian, gerombolan itu tidak
berani menaiki tangga ke lantai atas karena ada pajangan beruang dan harimau
yang sudah diawetkan, yang terletak pada anak tangga pertama. Penglihatan
anggota-anggota gerombolan saat itu terhalang, bahkan mereka tidak berani
menjamah atau melangkahi beruang itu sesuai dengan pantangan
"'ngelmu" (ajimat) atau kepercayaan mereka.
Konon, dari keterangan yang saya peroleh kemudian, sekitar
saat saat bencana menimpa kami, ada Agen Polisi Tingkat II bernama Sukitman
yang sedang bersepeda hendak memeriksa keadaan di rumah kami. Ia langsung
ditodong dan disekap oleh anggota-anggota gerombolan, dan dibawa serta ke
Lubang Buaya. Sukitman inilah yang berjasa mengungkap misteri Lubang Buaya
setelah berhasil meloloskan diri.
Saya memburu Katherin dan Salomo di lantai bawah, diikuti
pula anak-anak lain. Kami menyaksikan dan sadar apa yang telah terjadi. Sesaat
kemudian saya tak sadarkan diri, pingsan.
Saya tak tahu kejadian selanjutnya selama pingsan, tetapi
dari keterangan kemudian ternyata Katherin bergegas ke pavilyun, tempat Albert,
Victor dan Leleng. Didapatinya Albert dan Victor berlumuran darah. Katherin
lari ke rumah tetangga, lantas menelepon ke sebuah rumah sakit memesan
ambulans. Tetangga itu sudah bangun pula karena mendengar keributan di rumah
kami.
Katherin pergi ke garasi, mengeluarkan mobil, lalu
mengendarai sendiri mobil itu sekencang-kencangnya menuju rumah Jenderal Nasution,
jalan Teuku Umar 43. Setibanya di sana, rumah Pak Nas tampak ramai. Terdengar
pembicaraan orang-orang: "Jenderal Nasution diculik!"
Mendengar percakapan tentang hal itu Katherin segera
mengendarai mobil lagi menuju rumah pak tuanya, Samuel Pandjaitan di Jalan Cut
Meutia 5. Di rumah itu ia bertemu dengan pak tua Samuel Pandjaitan dan
adik-adiknya: Johan, Derik, Junjungan, dan Paut Uda Sopar dan lain-lain. Mereka
terkejut dan mengerumuni Katherin yang menangis . Mereka membelai-belai kepala
Katherin. Tak lama kemudian Samuel dan Katherin berangkat ke rumah kami, dan
sekitar pukul setengah delapan mereka tiba.
Banyak orang berdatangan di rumah kami, di antaranya isteri Kolonel
Samosir. Banyak pejabat dan perwira TNI hadir. Anak-anak masih menangis dan
kebingungan. Saya sudah siuman dan menangis ketika Katherin datang, tetapi
pingsan lagi. Masa, adik Katherin, juga pmgsan.
Meskipun tampak kecapaian, Katherin berangkat dengan berkenderaan
mobil lagi. Kali ini ia mengajak teman-temannya, antara lain putera Jenderal
Tahir, dan putera Jenderal Polisi Jasin. Mereka menuju Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat (RSPAD) untuk bertanya apakah di sana terdapat jenazah ayah
Katherin. Temyata yang ada di sana jenazah Ade Irma Suryani, puteri Pak
Nasution, dan Albert serta Victor Naiborhu yang sedang dalam keadaan kritis. Mobil
Katherin dipacu ke arah Cilandak dalam usaha mencari jenazah ayahnya.
Tak berhasil, namun usaha itu dilanjutkan sampai tiga hari.
Baru pada tanggal 4 Oktober 1965 kami mendapat berita bahwa jenazah suamisaya
dan jenderal-jenderal lain ditemukan di Lubang Buaya. Saya maklum bahwa
keluarga lain yang senasib dengan kami juga telah berusaha mencari jenazah
korban dengan cara masing-masing.
lsteri Jenderal Maraden Panggabean, adik kandung saya, yang kebetulan
berada di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober pagi begitu mendengar kejadian di
rumah saya, segera menelepon. Tetapi telepon itu tak terjawab, karena kabel
sudah terputus. la langsung berangkat ke rumah saya. Adik saya itu melihat
darah yang membasahi lantai dari depan garasi sampai pintu pagar.
Di lantai atas adik saya menumpahkan ratap tangisnya. Saya
pun dan anak-anak tak dapat membendung haru-biru dalam hati memikirkan kekejian
para penculik.
Adik saya mengambil prakarsa, cepatberangkatke pangkalan
udara Halim Perdanakusuma hendak menemui Komodor Leo Wattimena. yang dikenalnya
cukup akrab, tanpa mengetahui bahwa Pangkalan Halim Perdanakusuma merupakan
kubu gerombolan yang menculik suami saya.
Setibanya di Halim ia dilarang masuk ke wilayah pangkalan
udara. Didapatnya penjelasan bahwa keadaan sangat genting dan Presiden Sukamo
ada pula di sana. Tetapi adik saya bersikeras, sehingga akhirnya diperbolehkan masuk.
Namun demikian ia hanya bisa· bertemu dengan Nyonya Wattimena karena suaminya
ada di kantor pangkalan.
Atas usaha nyonya Wattimena, adik saya dapat berbicara lewal
telepon dengan Komodor Leo Wattimena. Kejadian yang menimpa suami saya
diceritakan oleh adik saya, dan selanjutnya meminta bantuan agar dapat menghubungi
suaminya, Jenderal M. Panggabean. Namun Komoder Leo tidak tahu dimana Jenderal
Panggabean berada, tetapi nanti akan diusahakan untuk mencarinya. Adik saya
segera kembali ke rumah saya, tetapi kami sekeluarga sudah diungsikan ke tempat
lain.
Setelah adik saya pergi ke Halim Perdanakusuma, rumah kami semakin
banyak dikunjungi kenalan, sedangkan berita tentang kejadian subuh itu masih
simpang-siur. Atas saran saudara sepupu yang tinggal di}akarta, Samuel
Pandjaitan, menjelang tengah hari tanggall Oktober itu kami sekeluarga
diungsikan ke Jl. Cut Meutia 5. Kami berpendapat keputusan dan sarannya itu
tepat, bijaksana dan terpuji. Setidak tidaknya kebijaksanaannya itu bagaikan
melindungi kami, sehingga agak dapat meringankan beban batin kami.
Perhatian dari seluruh keluarga kami sangat besar. Dari
Medan, kerabat suami saya, T.H. Naiborhu, orang tua Albert Naiborhu, adik suami
saya, Musa Pandjaitan, berdatangan padahari berikutnya. Semua anggota keluarga
dan kerabat berusaha mencari jejak penculik. Mereka menghubungi para pejabat
militer dan sipil, dan mengurus Albert dan Victor yang luka parah dan dirawat
di RSPAD.
Berduyun sahabat-sahabat dan kenalan-kenalan berdatangan menyampaikan
rasa turut duka cita mereka. Semua menunjukkan wajah sedih dan kagetnya. Apa
lagi mereka yang satu hari sebelum kejadian yang mengerikan itu, tanggal 29
September 1965, sempat makan bersama kami di rumah keluarga S.A.E. Nababan di
Kebayoran Baru, seperti antara lain Diapari Gultom yang waktu itu belum lama membentuk
keluarga.
Klik link Kembali ke daftar isi
Klik link Kembali ke daftar isi