XIV. MEMPERTEMUKAN PAK NAS DAN PAK YANI
* Pelaksanaan pembelian senjata
* Tugas berat: Asisten I_v Men/Pangad
* Menertibkan administrasi logistik
* Pertanyaan Kapten Haro Rajagukguk
Lima tahun sudah suami saya bertugas di Jerman Barat,
melalui pelaksanaan tugas-tugas yang berat, maka pada awal tahun 1962 kami sekeluarga
kembali ke Indonesia. Kami sekeluarga berangkat naik mobil melalui Swis menuju
Genoa, Italia. Kami menginap satu malam di Milan. Esok harinya menuju pelabuhan
Genoa, dan. dengan menumpang kapal Oceania berlayar ke Indonesia. Setelah dua minggu
lamanya kami menikmati pelayaran, kapal milik perusahaan ltalia yang kami
tumpangi berlabuh di Tanjung Periok. Kami menginap untuk sementara di Hotel Indonesia.
Ketika suami saya melapor kepada Mayor Jenderal Ahmad Yani, Kepala
Staf KOTI itu memerintahkan agar sebulan kemudian kembali lagi ke Jerman Barat
dan Eropa untuk menyelesaikan pelaksanaan pembelian senjata. Untuk sementara
saya dan anak-anak, dititipkan pada mertua di Sibolga.
Tugas penyelesaian senjata di Eropa dapat dituntaskan oleh
suami saya selama sebulan. Begitu tiba kembali di Jakarta, segera melapor ke rumah
Jenderal Yani.
Pak Yani membuka percakapan dengan memberi tahu:
"Apakah sudah tahu bahwa saya sudah diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan
Darat?"
"'Sudah," sahut suami saya. "Selamat."
Selanjutnya Jenderal Yani mengatakan bahwa ia telah merencanakan
untuk menugaskan suami saya sebagai Asisten l Men/ Pangad.
"Terima kasih," jawab suami saya.
Ketika suami saya menjemput saya dan anak-anak di Sibolga, tampak
jalannya agak terpincang, karena kakinya baru saja dioperasi di Jerman. Tetapi
beberapa waktu kemudian bekas operasi itu sudah sembuh kembali dan jalannya
tegap seperti sediakala.
Dalam perjalanan ke Jakarta kami sekeluarga berkunjung ke kampung
halaman, beramah tamah dengan sanak kerabat di Lumbantor. Sambil berkeliling
melihat-lihat pemandangan, suami saya bertanya kepada anak-anak:
"Bagaimana kalian lihat kampung halaman kita ini?" Cantik,
Vati," jawab anak-anak. Mereka masih menyebut ayahnya dalam bahasa Jerman.
"Seperti Swis," sambungnya. Kami kembali ke Jakarta melalui Medan.
Karena di ibukota belum tersedia rumah dinas, untuk sementara kami sekeluarga
tinggal di Hotel Duta Indonesia (sekarang kompleks pertokoan Duta Merlin).
*
Suatu hari Presiden Sukarno memanggil Jenderal Yani, dan menanyakan
apakah sudah menyiapkan nama-nama yang akan memangku jabatan-jabatan Asisten
Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Pak Yani segera menyerahkan daftar nama para calon
Asistennya. Setelah membaca dan meneliti daftar itu, Presiden
bertanya:·"Apakah Pandjaitan ini yang pernah menjadi Atase Militer di
Jerman Barat?''
Benar," jawab Pak Yani.
"Sesuai laporan dari Chairul Saleh dan lwa
Kusumasumantri, orang ini tidak baik” ujar Presiden.
Pak Yani menyanggah: ”Kolonel Pandjaitan ini baik.
Sebenarnya dia lebih cocok jadi Pendeta. Selama bertugas di Jerman ia sering berkhotbah
di gereja dalam bahasa Jerman."
Kamu saja yang mengatakan begitu," ganti Presiden
menyanggah.
"Kalau Bapak tidak percaya, panggillah langsung yang
bersangkutan. Nanti dia saya hadapkan," usul Pak Yani.
"Okey! Besok suruh dia menghadap saya di Istana jam
07.00," kata Presiden.
“Akan segera diperintahkan" sambut Pak Yani.
Malamnya Jenderal Yani menelepon suami saya, memberi tahu
agar esok paginya memenuhi panggilan Presiden di !stana pukul 7.00 pagi.
"Sudah dibicarakan dengan Ajudan. Besok selesaikan
permasalahanmu itu," katanya tegas tanpa banyak komentar.
“Semalaman suami saya gelisah sehingga sulit tidur
memikirkan masalah yang hendak dibicarakan di Istana esok paginya, namun sudah dapat
menduga-duga bahwa persoalannya menyangkut kejadian kejadian di Jerman Barat
dan pencalonannya menjadi Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Esok paginya suami saya sudah bangun pada pukul 05.00 pagi, kemudian
bersiap-siap hendak berangkat. Pukul 06.30 sudah tiba di lstana, langsung
melapor pada Ajudan Presiden, Kolonel Sabur.
Pukul 07.00 tepat Presiden masuk ke ruangan tempat suami
saya menunggu. Suami saya berdiri, memberi hormat secara kemiliteran, dan
melapor.
Presiden segera membuka percakapan: “Saya mendapat laporan
baha jij ada berhubungan dengan tokoh
tokoh PRRI”
"Boleh saya menjawab, Pak? Kalau salah mohon
dimaafkan," kata suami saya . Setelah disilahkan oleh Presiden,
disampaikanlah penjelasan:
"Hubungan saya dengan PRRI tidak ada, tetapi tokoh
PRRI/Permesta A.E. Kawilarang pemah menelepon saya dari Washington ke Bonn. Katanya,
ia akan meninggalkan pos Atase Militer di Amerika Serikat dan akan bergabung
dengan Permesta. Saya menasihati agar jangan melakukan demikian, karena
tindakan itu salah. Namun ia berkeras hati dan akan pergi juga. Demikian juga
Sukendro dan isteri pernah datang ke rumah saya di Bonn. Sebagai teman sesama
Perwira saya menerimanya, dan juga diajak melancong ke Moskow untuk melihat parade
besar militer, dan juga ke Rumania. Kami memang bertemu, tetapi ideologi saya
tetap setia kepada negara Republik Indonesia dan Pemerintah."
Presiden menukas: “Saya mendapat laporan dari Chairul Saleh tentang
hal itu, dan juga katanya jij tidak
loyal kepada saya sebagai Presiden/Panglima Tertinggi."
Suami saya berdiri, langsung mengambil sikap militer, dan
menjawab: “Saya sudah disumpah sebagai Perwira, Pak, bahwa saya tetap setia
kepada Pancasila, Presiden, Panglima Tertinggi, dan Pemerintah. Sekian."
“Kalau demikian," kata Presiden, " kembalilah dan
melapor kepada Yani..”
Suami saya menghormat, melapor, dan minta diri.
Pertemuan dan pembicaraan dengan Presiden itu dilaporkan
oleh suamisaya kepada Pak Yani, yangmendengarkannya dengan seksama.
Pak Yani mengatakan agar suami saya menunggu keputusan selanjutnya.
Tetapi mengapa Pak Yani mengatakan kepada Presiden Sukamo bahwa
sebenamya suami saya lebih cocok menjadi pendeta. Memang, bukan hanya karena ia
pemah berkhotbah di gereja diluar negeri, dalam kehidupan sehari-hari ia selalu
ingatkepada Tuhan. Dalam notes-notes kecil banyak tertulis doanya. Saya masih
menyimpan notes-notesnya yang berisi tulisannya semacam itu, baik dalam bahasa
Indonesia, Batak, Belanda maupun Inggris.
Misalnya: “oh Toehan ]g. Maha Esa, lihatlah machloekmoe ini.
Toendjoekkanlah pada saja djalan jang soetji itoe. Amin." atau: “Hari ini adalah
hari lahir istri saja jg. berkebetoelan sewaktu saja hendak berangkat ke Bukittinggi
saja tinggalkan dalam sakit. 0, Toehan, jang Maha Koeasa, perlindoengilah dia,
dan landjoetlah oemoer iboe kami itoe. Amin." Lagi,tulisannya selagi kami
berjauhan: "My God, bless my wife and children. Let us meet as soon as
possible in good health and gladly." Di halaman
berikutnya tertulis: “My God in heaven. Be together with me.
Into Your hand I surrender."
Salah satu tulisannya dalam notes terbaca:
Als we in nood gezeten
Geen uitkomst ziet
Wil dan nooit vergeten
God verlaat U niet
Vrees toch geen nood
Vrees toch geen kwaad
God wii U behoeden.
(Kalau kita dalam beneana
Dan jalan keluar tiada
Jangan sekalilupakan
Tuhan tak meninggalkan Arida
Jangan takut akan bencana
Jangan takut akan bahaya
Tuhan 'kan lindungi Anda.)