eBook 16-1 CITRA ABADI PERWIRA BERWIBAWA


* Doa dan buku agama
* Di panser, dikawal penvira tinggi
* "Akan kuteruskan perjuanganmu, Papa."
* Albert Naiborhu, pembela pamannya

Sekalipun kami sekeluarga pada pagi hari tangga11 Oktober 1965 masih diliputi kabut kegelapan, kekacauan dan kebingungan, tetapi rahasia kejadian yang menggegerkan masyarakat, bahkan bangsa dan negara, sedikit banyak sudah tersingkap. PKI-lah biang keladinya, yang melakukan pemberontakandan pengkhianatan dengan segalamacam cara yang tidak berperi kemanusiaan. Pagi itu menjelang pukul tujuh, segerombolan tentara yang dipergunakan oleh PKI berhasil memasuki gedung RRI di Jalan Merdeka Barat Oi bawah todongan senjata penyiar RRI dipaksa membacakan pengumuman komandan Gerakan 30 September Letnan Kolonel Untung, dan disusul pula dengan siaran pukul12.00 tentang dekrit pembentukan Dewan Revolusi serta pendemisioneran kabinet.

Tetapi penguasaan Gerakan 30 September atas RRI ini hanya berlangsung beberapa jam saja, karena malamnya pukul 20.00 sudah tersiar pidato radio pimpinan sementara Angkatan Darat, Mayor JenderalSoeharto, yang menegaskan bahwa tindakan gerakan 30 September adalah tindakan kup, perebutan kekuasaan, dan pengkhianatan. Gerakan pemberontakan itu telah menculik Letnan Jenderal A. Yani, Mayor Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Haryono M.T., Brigadir Jenderal 0.1. Pandjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutojo Siswomihardjo. Yang agak melegakan, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan bahwa situasi telah dapat dikuasai, meskipun para jenderal pimpinan Angkatan Darat yang diculik belum diketahui keadaannya.

Baru pada tanggal 4 Oktober didapat kepastian bahwa jenazah para jenderal itu telah ditemukan di Lubang Buaya. Dengan hati yang teririsiris, kami akhimya pasrah sepenuhnya kepada Tuhan. Orang tua serta sanak saudara kami berdatangan dari Medan. Mereka memberikan penghiburan, membuat hati kami agak ringan.

Jenazah suami saya dan para jenderal itu dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Petang harinya pukul 18.00 peti-peti jenazah disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Kami sekeluarga dan keluarga-keluarga lain serta para pejabat tinggi datang melayat ke MBAD. Namun sesuai dengan petunjuk dokter dokter RSPAD, peti-petijenazah itu tidak dapat dibuka lagi.

Saya tidak dapat lagi menatap wajah suami saya untuk yang terakhir kali, namun yang tetap tampak dalam hati saya adalah D.I. Pandjaitan dalam pakaian seragam perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang gagah dan berwibawa. Citra suami yang demikianlah yang selalu tampak pada saya. Teringat saya akan kata-kata suami saya yang pernah diucapkannya kepada Letnan Kolonel Hassan Basri di Pekan Baru dulu: "Saya ingin mati sebagai jenderal."

Di samping peti jenazahnya, saya dan anak-anak tidak kuasa membendung air mata. Dan tiba-tiba saya tersadar, lalu berserah diri kepada Tuhan. Saya ingat bahwa suami saya pada hari-hari terakhir senantiasa asyik membaca buku-buku agama; bahkan sejak dulu pun ia tak pernah melupakan-Nya sebagaimana dalam doadoanya dan goresan-goresan tulisannya dalam buku notes dan catatan hariannya. Teman-temannya suka menyebutnya sebagai pendeta, bahkan Pak Yani mengatakannya demikian di depan Presiden Sukarno. Malam itu kami pulang, beristirahat, untuk menghadapi acara esok harinya, yaitu pemakaman dengan upacara kebesaran militer di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Hari itu pemerintah mengumumkan bahwa para pemimpin Angkatan Darat yang telah gugur itu dinaikkan pangkatnya satu tingkat dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.

*

Upacara pemakaman dimulai pukul 10.00 pagi di MBAD. Satu persatu peti jenazah dinaikkan ke atas panser, didampingi dan dikawal oleh seorang perwira tinggi. Saya sekeluarga, begitu pula keluarga-keluarga lain, dipersilakan naik ke dalam mobil khusus.

Iring-iringan panser yang membawa peti-peti jenazah dan kendaraan pengiring berangkat menuju TMP Kalibata. Saya melihat panser terdepan yang membawa jenazah Pak Yani dikawal oleh Letnan Jenderal Djatikusumo.

Selepas gedung MBAD iring-iringan itu menuju jalan Merdeka Timur, Cikini Raya, Salemba Raya, Matraman Raya, Jatinegara, Cawang, Gatot Subroto, Pancoran, Jalan Pasar Minggu, dan akhimya tiba di Kalibata. Jalan yang ditempuh tidak kurang dari 20 kilometer jauhnya, sedang kendaraan pengiring berurut-urutan sepanjang 5 kilometer. Di tepi kanan-kiri jalanyang dilalui rakyat berdesakan menyaksikan iringiringan jenazah para Pahlawan Revolusi serta menyampaikan penghormatan terakhir. Dari dalam mobil saya melihat wajah mereka diliputi keharuan dan kedukaan, bahkan tidak sedikityang menitikkan air mata.

Kawai kehormatan terhadap iring-iringan jenazah itu dilakukan oleh satuan-satuan pasukan yang mengenakan PDLT – Pakaian DInas Lapangan Tempur. Suasananya melambangkan kesiapan tempur guna melanjutkan perjuangan para Pahlawan Revolusi. Peringatan Hari ABRI ke-20 tanggal 5 Oktober 1965 yang semula direncanakan dengan melakukan parade militer secara besar-besaran, berubah menjadi suasana khidmat mengantar jenazah pahlawan yang gugur sebagai tumbal bagi tegaknya Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila.

lring-iringan peti jenazah memasuki TMP Kalibata dalam iringan genderang dukacita. Kira-kira sepuluh ribu orang telah menunggu hendak mengikuti upacara dan memberikan penghormatan. Diiringi barisan kawal kehormatan Kavaleri Kuda dan barisan Taruna AMN, peti-petijenazah dibawa menuju tempat-tempat pembaringan terakhir. Upacara itu diikuti oleh satu resimen ABRI dengan persenjataan siap tempur, dan disertai pula dengan Pandji TNI-AD Kartika Eka Paksi, merupakan penghormatan tertinggi TNI.

Dengan alunan musik tafakur dari Korps Musik ABRI para pelayat mengheningkan cipta, mengenang jasa para Pahlawan Revolusi. Bunyi sangkakala mengharu-biru perasaan kami sernua, air mata pun berlelehan. Dengan didahului tembakan salvo, satu persatu jenazah diturunkan ke liang kubur.

Kesempatan diberikan kepada keluarga masing-masing mengadakan upacara pemakaman menurut agamanya. Selagi kami melakukan penaburan tanah tiga kali, tiba-tiba Oce, putera kami yang berusia 12 tahun berseru: "Akan kuteruskan perjuanganmu, Papa..." Kami semua terharu dan bangga.

Upacara keagamaan dilanjutkan dengan upacara kemiliteran. Di tengah-tengah kesedihan terbersit pula kebanggaan, bahwa suami saya telah memenuhi tugas dan kewajibannya sebagai prajurit secara sempurna. Terngiang-ngiang kembali ucapannya yang pernah dituturkan: "Saya ingin mati sebagai jenderal."

*

Seusai upacara pemakaman, tatkala hendakpulang, tiba-tiba sampailah berita bahwa kemenakan almarhum suami saya, Albert Naiborhu, meninggal pada hariitu di RSPAD. Ia terkena tembakan para penculik yang menyerbu rumah kami tanggal 1 Oktober pagi buta itu. Ia berusaha melawan kaum penculik, tetapi tertembus beberapa butir peluru. Sekalipun sudah tertembak saat itu, dengan berlumuran darah ia masih sempat membela pamannya dan berseru-seru agar tidak turun dari tingkat atas rurnah.

Albert adalah anak pertama dan satu-satunya anak lelaki Julia boru Pandjaitan, kakak suami saya, yang kawin dengan guru Th. Naiborhu. Mendengar berita kematian itu kami sekeluarga langsung dari Kalibata menuju RSPAD. lsak dan tangis pun menjadi-jadi karena musibah datang silih berganti. Kami ingin menyemayamkan jenazah Albert dirumah Jl. Hasanudin atau di Jl. Cut Meutia, namun pihak Angkatan Darat menyarankan supaya jenazah tetap disemayamkan di RSPAD mengingat keadaan masih gawat.

Esok harinya, 6 Oktober 1965, jenazah Albert oleh Angkatan Darat dimakamkan di TMP Kalibata. Seluruh keluarga Pandjaitan yang ada di Jakarta mengikuti upacara pemakaman tersebut.

Hingga kini, lebih dari tiga puluh tahun sudah, status Albert Naiborhu yang telah dimakamkan secara resmi di TMP Kalibata belurn mendapat kepastian dari pemerintah. Ibunya yang sudah janda mendambakan agar putera yang dahulu menjadi tumpuan harapan keluarga itu dapat memperoleh status yang selayaknya.


kembali ke daftar isi