* Doa dan buku agama
* Di panser, dikawal penvira tinggi
* "Akan kuteruskan perjuanganmu, Papa."
* Albert Naiborhu, pembela pamannya
Sekalipun kami sekeluarga pada pagi hari tangga11 Oktober
1965 masih diliputi kabut kegelapan, kekacauan dan kebingungan, tetapi rahasia
kejadian yang menggegerkan masyarakat, bahkan bangsa dan negara, sedikit banyak
sudah tersingkap. PKI-lah biang keladinya, yang melakukan pemberontakandan
pengkhianatan dengan segalamacam cara yang tidak berperi kemanusiaan. Pagi itu
menjelang pukul tujuh, segerombolan tentara yang dipergunakan oleh PKI berhasil
memasuki gedung RRI di Jalan Merdeka Barat Oi bawah todongan senjata penyiar RRI
dipaksa membacakan pengumuman komandan Gerakan 30 September Letnan Kolonel
Untung, dan disusul pula dengan siaran pukul12.00 tentang dekrit pembentukan
Dewan Revolusi serta pendemisioneran kabinet.
Tetapi penguasaan Gerakan 30 September atas RRI ini hanya berlangsung
beberapa jam saja, karena malamnya pukul 20.00 sudah tersiar pidato radio
pimpinan sementara Angkatan Darat, Mayor JenderalSoeharto, yang menegaskan
bahwa tindakan gerakan 30 September adalah tindakan kup, perebutan kekuasaan,
dan pengkhianatan. Gerakan pemberontakan itu telah menculik Letnan Jenderal A.
Yani, Mayor Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Haryono
M.T., Brigadir Jenderal 0.1. Pandjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutojo
Siswomihardjo. Yang agak melegakan, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan bahwa
situasi telah dapat dikuasai, meskipun para jenderal pimpinan Angkatan Darat
yang diculik belum diketahui keadaannya.
Baru pada tanggal 4 Oktober didapat kepastian bahwa jenazah
para jenderal itu telah ditemukan di Lubang Buaya. Dengan hati yang teririsiris,
kami akhimya pasrah sepenuhnya kepada Tuhan. Orang tua serta sanak saudara kami
berdatangan dari Medan. Mereka memberikan penghiburan, membuat hati kami agak
ringan.
Jenazah suami saya dan para jenderal itu dibawa ke Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Petang harinya pukul 18.00 peti-peti jenazah
disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Kami sekeluarga dan
keluarga-keluarga lain serta para pejabat tinggi datang melayat ke MBAD. Namun
sesuai dengan petunjuk dokter dokter RSPAD, peti-petijenazah itu tidak dapat
dibuka lagi.
Saya tidak dapat lagi menatap wajah suami saya untuk yang
terakhir kali, namun yang tetap tampak dalam hati saya adalah D.I. Pandjaitan dalam
pakaian seragam perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang gagah dan berwibawa.
Citra suami yang demikianlah yang selalu tampak pada saya. Teringat saya akan
kata-kata suami saya yang pernah diucapkannya kepada Letnan Kolonel Hassan
Basri di Pekan Baru dulu: "Saya ingin mati sebagai jenderal."
Di samping peti jenazahnya, saya dan anak-anak tidak kuasa membendung
air mata. Dan tiba-tiba saya tersadar, lalu berserah diri kepada Tuhan. Saya
ingat bahwa suami saya pada hari-hari terakhir senantiasa asyik membaca
buku-buku agama; bahkan sejak dulu pun ia tak pernah melupakan-Nya sebagaimana
dalam doadoanya dan goresan-goresan tulisannya dalam buku notes dan catatan
hariannya. Teman-temannya suka menyebutnya sebagai pendeta, bahkan Pak Yani
mengatakannya demikian di depan Presiden Sukarno. Malam itu kami pulang,
beristirahat, untuk menghadapi acara esok harinya, yaitu pemakaman dengan
upacara kebesaran militer di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Hari itu
pemerintah mengumumkan bahwa para pemimpin Angkatan Darat yang telah gugur itu
dinaikkan pangkatnya satu tingkat dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.
*
Upacara pemakaman dimulai pukul 10.00 pagi di MBAD. Satu
persatu peti jenazah dinaikkan ke atas panser, didampingi dan dikawal oleh seorang
perwira tinggi. Saya sekeluarga, begitu pula keluarga-keluarga lain,
dipersilakan naik ke dalam mobil khusus.
Iring-iringan panser yang membawa peti-peti jenazah dan kendaraan
pengiring berangkat menuju TMP Kalibata. Saya melihat panser terdepan yang membawa
jenazah Pak Yani dikawal oleh Letnan Jenderal Djatikusumo.
Selepas gedung MBAD iring-iringan itu menuju jalan Merdeka Timur,
Cikini Raya, Salemba Raya, Matraman Raya, Jatinegara, Cawang, Gatot Subroto,
Pancoran, Jalan Pasar Minggu, dan akhimya tiba di Kalibata. Jalan yang ditempuh
tidak kurang dari 20 kilometer jauhnya, sedang kendaraan pengiring
berurut-urutan sepanjang 5 kilometer. Di tepi kanan-kiri jalanyang dilalui
rakyat berdesakan menyaksikan iringiringan jenazah para Pahlawan Revolusi serta
menyampaikan penghormatan terakhir. Dari dalam mobil saya melihat wajah mereka
diliputi keharuan dan kedukaan, bahkan tidak sedikityang menitikkan air mata.
Kawai kehormatan terhadap iring-iringan jenazah itu
dilakukan oleh satuan-satuan pasukan yang mengenakan PDLT – Pakaian DInas
Lapangan Tempur. Suasananya melambangkan kesiapan tempur guna melanjutkan
perjuangan para Pahlawan Revolusi. Peringatan Hari ABRI ke-20 tanggal 5 Oktober
1965 yang semula direncanakan dengan melakukan parade militer secara
besar-besaran, berubah menjadi suasana khidmat mengantar jenazah pahlawan yang
gugur sebagai tumbal bagi tegaknya Republik Indonesia yang berfalsafah
Pancasila.
lring-iringan peti jenazah memasuki TMP Kalibata dalam
iringan genderang dukacita. Kira-kira sepuluh ribu orang telah menunggu hendak
mengikuti upacara dan memberikan penghormatan. Diiringi barisan kawal
kehormatan Kavaleri Kuda dan barisan Taruna AMN, peti-petijenazah dibawa menuju
tempat-tempat pembaringan terakhir. Upacara itu diikuti oleh satu resimen ABRI
dengan persenjataan siap tempur, dan disertai pula dengan Pandji TNI-AD Kartika
Eka Paksi, merupakan penghormatan tertinggi TNI.
Dengan alunan musik tafakur dari Korps Musik ABRI para
pelayat mengheningkan cipta, mengenang jasa para Pahlawan Revolusi. Bunyi sangkakala
mengharu-biru perasaan kami sernua, air mata pun berlelehan. Dengan didahului
tembakan salvo, satu persatu jenazah diturunkan ke liang kubur.
Kesempatan diberikan kepada keluarga masing-masing
mengadakan upacara pemakaman menurut agamanya. Selagi kami melakukan penaburan
tanah tiga kali, tiba-tiba Oce, putera kami yang berusia 12 tahun berseru:
"Akan kuteruskan perjuanganmu, Papa..." Kami semua terharu dan
bangga.
Upacara keagamaan dilanjutkan dengan upacara kemiliteran. Di
tengah-tengah kesedihan terbersit pula kebanggaan, bahwa suami saya telah
memenuhi tugas dan kewajibannya sebagai prajurit secara sempurna.
Terngiang-ngiang kembali ucapannya yang pernah dituturkan: "Saya ingin mati
sebagai jenderal."
*
Seusai upacara pemakaman, tatkala hendakpulang, tiba-tiba
sampailah berita bahwa kemenakan almarhum suami saya, Albert Naiborhu, meninggal
pada hariitu di RSPAD. Ia terkena tembakan para penculik yang menyerbu rumah
kami tanggal 1 Oktober pagi buta itu. Ia berusaha melawan kaum penculik, tetapi
tertembus beberapa butir peluru. Sekalipun sudah tertembak saat itu, dengan
berlumuran darah ia masih sempat membela pamannya dan berseru-seru agar tidak
turun dari tingkat atas rurnah.
Albert adalah anak pertama dan satu-satunya anak lelaki Julia
boru Pandjaitan, kakak suami saya, yang kawin dengan guru Th. Naiborhu. Mendengar
berita kematian itu kami sekeluarga langsung dari Kalibata menuju RSPAD. lsak
dan tangis pun menjadi-jadi karena musibah datang silih berganti. Kami ingin
menyemayamkan jenazah Albert dirumah Jl. Hasanudin atau di Jl. Cut Meutia,
namun pihak Angkatan Darat menyarankan supaya jenazah tetap disemayamkan di
RSPAD mengingat keadaan masih gawat.
Esok harinya, 6 Oktober 1965, jenazah Albert oleh Angkatan
Darat dimakamkan di TMP Kalibata. Seluruh keluarga Pandjaitan yang ada di
Jakarta mengikuti upacara pemakaman tersebut.
Hingga kini, lebih dari tiga puluh tahun sudah, status
Albert Naiborhu yang telah dimakamkan secara resmi di TMP Kalibata belurn mendapat
kepastian dari pemerintah. Ibunya yang sudah janda mendambakan agar putera yang
dahulu menjadi tumpuan harapan keluarga itu dapat memperoleh status yang
selayaknya.
kembali ke daftar isi